
Dengan cara ini, Allah telah mengajarkan kepada kita pelajaran bahwa ketika orang menjadi terbiasa meninggalkan keperluan-keperluannya yang pokok dan besar, betapa mudahnya hal itu baginya untuk meninggalkan keperluan-keperluan yang kecil. Bayangkan saja, bahwa ada susu segar, serbat dingin, anggur dan jeruk di rumah seseorang. Bibir kering dengan rasa haus dan tak ada seorang pun dapat mencegahnya dari menggunakannya tapi, walaupun perlu dan dapat terjangkau, dia tidak memakan atau meminumnya. Itu hanya karena [takut] Tuhannya tidak ridha kepadanya.
Sama halnya, bayangkan bahwa dia mempunyai makanan yang baik dan lezat, seperti pulao, kabab (sejenis sate) dan makanan-makanan lezat lain di dapurnya. Dia lapar dan tak ada seorang pun dapat menghentikannya dari memakannya. Dia tidak memakannya kecuali [karena takut] dia tidak taat pada perintah Allah Ta'ala.
Dengan demikian, ketika segala hal yang baik yang penting bagi kelangsungan hidupnya tersedia untuknya dan dia meninggalkannya hanya demi mencari keridhaan Tuhan, dan pengalaman-pengalaman yang dirasakan bahwa dia dapat berbuat demikian, maka mengapa dia akan menggunakan minuman keras dan makan babi, yang tidak penting sama sekali.
Begitu pula, ketika seseorang yang terbiasa menerima suap, memakan riba, mencuri atau meminjam tanpa berniat untuk mengembalikan, akan menjadi jujur dan taat pada perintah-perintah Tuhannya, mengapa dia akan berani untuk mengambil kekayaan yang tidak sah semacam itu lagi. Tak pernah, selamanya.
Sama halnya, jika dia mempunyai seorang istri yang muda dan cantik dan dia dapat menjauhinya selama tiga puluh hari demi keridhaan Allah, maka mengapa dia akan memandang wanita-wanita lain dengan pandangan (niat) buruk.
Oleh sebab itu, Ramadhan Syarif merupakan bulan yang memberikan pelajaran amal takwa, kebersihan (kesucian), takut kepada Tuhan, kesabaran, keteguhan hati, mengendalikan nafsu dan menaklukkan diri sendiri.
(Khutbah Jum'at tanggal 22 Januari 1901; Khutbati Nur, jilid I, hal. 59-60 - via Ahmadiyya Gazette Canada, January 1995, hal. 18).
0 komentar:
Posting Komentar