وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya :
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu yang beramal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu Khalifah-khalifah di muka bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah-khalifah dari antara orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka; dan niscaya Dia akan memberikan keamanan dan kedamaian sebagai penganti sesudah ketakutan mencekam mereka. Mereka akan menyembah kepada-Ku dan mereka tidak mempersekutukan sesuatu dengan Daku. Dan barang siapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka. (surah An Nur : 56)
Pendahuluan
Kebutuhan akan keberadaan khalifah sudah lama dirasakan oleh umat Islam seluruh dunia. Terutama sesudah tahun turunnya Sultan Turki yang merangkap sebagai Khalifah Usmaniyah, pada tahun 1924. Telah banyak usaha yang dicoba untuk menegakkan kembali kekhalifahan itu tetapi selalu gagal. Pertama dimunculkan Syarif Husein dari Mekah untuk mengantikan kekhalifahan Turki itu, ia mati terbunuh. Kemudian dimunculkan lagi Raja Fuad dan anaknya Raja dari Mesir juga gagal dan matinya sangat tragis. Yang terakhir Raja Faisal dari Saudi Arabia pada tahun 1974, juga gagal dan mati juga secara tragis. Bahkan sponsornyapun dilindas oleh zamannya yaitu Idi Amin dari Uganda dan Zulfikar Ali Butto dari Pakistan.
Kenapa hal itu terjadi dan apakah mungkin menghidupkan kembali kekhalifahan itu menurut pola yang dikehendaki mereka / Inilah masalahnya. Mereka , pemuka-pemuka Islam sedunia, melihat kekhalifahan itu sebagai wahana politik. Tujuannya juga Politik yaitu menjadikan umat Islam sedunia dibawah satu kepemimpinan Politik. Dengan demikian mereka beranggapan umat Islam akan menjadi kuat bersatu dan dapat digerakkan berbuat apa saja. Mereka membayangkan kesatuan umat dimasa Rasulullah SAW. Dan para Khalifahnya yang solid dan kuat. Di Tanah air pun dengan gencar mempersoalkan kekhalifahan bahkan akan menegakkan daulah Khilafat.
Sebagaimana kita ketahui di dunia ini banyak berdiri negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Kondisi politik dan sistim politik ditiap negara itu berbeda, bahkan banyak yang bertolok belakang. Pakistan yang mendirikan negaranya atas dasar penduduk seagama (Islam) memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu tak sampai seperempat abad pecah menjadi dua Negara yaitu Pakistan dan Bangladesh yang sama-sama Islam. Mesir dan Syiria pernah mencoba menjadikan satu negara konfederasi Republik Persatuan Arab akhirnya juga bubar lagi, bahkan bersaing jadi pimpinan Arab. Turki negara sekuler yang beragama Islam. Arab Saudi kerajaan orthodox yang mencoba menegakkan Hukum Islam secara ketat. Iran Republik Islam yang mendasarkan negaranya kepada faham Syiah. Negara-negara Islam di Asia Tengah pernah mengalami brainwashing (cuci otak) selama tujuh puluh tahun oleh penguasa komunis kini muncul dengan wajah baru. Demikian juga negara–negara Afrika Utara dan Tengah yang semuanya beragama Islam, mempunyai system politik yang berbeda satu sama lain. Apakah mungkin negara-negara yang berbeda system politik itu bersatu untuk membentuk kesatuan politik yang akan ditaati oleh semua itu atau minimal oleh para tokoh-tokohnya yang mempunyai latar belakang politik yang berlainan ?
Suatu hal yang terlalu utopis. Bahkan mungkin fatamorgana Di masa Islam jayapun kekuatan politik itu tidak pernah bersatu. Ingat dimasa kejayaan khalifah Abbasiyah di Bagdad, terdapat Khalifah Umayah yang berkibar dikordoba, kemudian disusul oleh khalifah Fatimiah di Kairo. Jadi secara historis tidak pernah ada kekhalifahan Islam yang solid dan berwibawa untuk seluruh umat Islam diseluruh dunia. Pada waktu itu masih ada kekuatan politik yang didukung oleh tentara yang kuat, tetapi persatuan yang didambakan itu tidak pernah tercapai. Bahkan kedua kekhalifahan itu saling bermusuhan, Khalifah Harun Ar–Rasyid bersekutu dengan Charlemagne menghadapi kekhalifahan di Andalusia. Kekhalifahan Spanyol bersekongkol dengan kerajaan Kristen di Konstantinopel menghadapi kekhalifahan di Bagdad. Kedua kekhalifahan itu mencapai puncak kejayaannya di Wilayah masing-masing, mengungguli peradaban Eropa dizamannya, tetapi Tokh tidak bisa bersatu untuk menjadikan satu pimpinan untuk seluruh umat Islam sedunia. Jadi dimana Salahnya ?
Pemahaman Arti Khilafat
Timbulnya kegagalan-kegagalan ini karena mereka salah dalam memahami arti khilafat. Mereka mengartikan khilafat dalam arti penguasaan politik. Khalifah adalah penguasa Politik. Jadi melihat khalifah semata-mata dari kaca mata politik. Inilah yang merasuki pikiran dan pemikir Islam dari dulu sampai sekarang. Kedatangan Imam Mahdi dikaitkan dengan kekuasaan Politik, kemenangan Islam yang dijanjikan itu juga dibayangkan dalam kemenangan Politik dimana Islam sebagai pengusa dunia. Karena kesalahan inipun dapat dimengerti, karena mereka menilai sejarah itu dari segi fisiknya belaka. Mereka melihat kejayaan Islam melalui pertarungan politik dan militer.
Tapi kalau kita pelajari Al-Quran Karim maka masalahnya akan terbalik. Ketika Allah Ta’ala akan mengangkat Adam jadi khalifah masalah ini sudah mulai muncul. Malaikat memperingatkan Allah Ta’ala akibat pengangkatannya itu yaitu kekacauan dan pertumpahan darah. Ini tidak lain adalah aspek politik. Tetapi Tuhan mengesampingkannya kerena ada yang lebih tinggi. Setelah pengusiran itu Allah berkata kepada Adam jika nanti datang kepadamu petunjuk maka barangsiapa yang akan mengikuti petunjuk-Ku niscaya ia tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka berduka cita. Disini ditonjolkan adalah aspek kerohaniannya. Ketaatan kepada larangan dan petunjuk Allah SWT. Demikian juga di dalam surah Al- Araf ayat 70’75 dan 130 pengangkatan khalifah-khalifah sebagai penganti suatu kaum atau bangsa selalu didahului dengan persyaratan adanya ketaatan kepada Allah SWT, atau orang yang bertaqwa. Juga dalam surah Shad ayat 27 ketika pengangkatan Daud a.s. sebagai khalifah juga ditekankan kepada mengikuti jalan Allah dengan menegakkan keadilan dan tidak mengiktui hawa nafsu. Jadi dalam pemahaman ayat-ayat itu dalam pengangkatan khalifah-khalifah itu selalu dikaitkan dengan kepatuhan kepada Allah SWT; jadi sifat hubungan rohaniah lebih menonjol daripada hubungan duniawiyah. Dengan kata lain hubungan duniawiyah harus berlandasan hubungan rohaniah.
Demikian juga pengangkatan khalifah-khalifah di dalam umat Islam sendiri dalam surah An-Nur ayat 56 Allah berjanji akan mengangkat khalifah-khalifah dari orang-orang mukmin yang beramal shaleh. Dan siapakah orang Mukmin yang beramal Shaleh ini ? Apa kriterianya orang mukmin yang beramal shaleh itu ?. Orang shaleh itu adalah salah satu nikmat yang dijanjikan kepada orang-orang yang mengikuti Allah dan Rasul (yaitu Rasulullah SAW) sebagai yang dijanjikan dalam surah An-Nisa ayat 70. Jadi Syaratnya sama saja dengan pengangkatan khalifah sebelum Rasulullah SAW yaitu ketaatan. Kalau dalam pengangkatan Khalifah sebelum Islam terkesan hanya ketaatan kepada Allah saja, hal itu dapat dimengerti karena khalifah di zaman itu juga sekaligus sebagai Nabi seperti Adam, Harun dan Daud a.s. Tetapi setelah nabi Muhammad SAW. Khalifah itu harus taat kepada Allah dan rasulnya. Ketaatan berkaitan dengan keimanan. Tidak mungkin ada ketaatan kalau tidak ada keimanan dan sebaliknya tidak mungkin ada keimanan kalau tidak ada ketaatan. Keduanya ibarat satu wujud dengan dua nama.
Pengangkatan Khalifah itu semata-mata kewenagan Allah. Ini bisa kita lihat dalam ayat Al-Quran yang dikutif diatas tadi. Dan janji Allah akan mengangkat Khalifah dari umat Muhammad SAW. Tentu caranya sesuai dengan petunjuk dan tuntunan yang disediakan oleh-Nya, bukan dari rekayasa manusia belaka. Bahkan dalam pengangkatan Khalifah dari umat Islam itu polanya tertentu yaitu Khilafat ‘ala minhajin nubuwat.
Khilafat ‘Ala Minhajin Nubuwat
Dalam Sabda Nabi ada 4 pola kepempimpinan :
- Pola Kenabian, artinya Nabi sendiri yang memimpin.
- Pola Khilafat, artinya adanya Khilafat sebagai penganti yang melaksanakan tugas Nabi (Khilafat ‘ala minhajin nubuwat)
- Pola kerajaan , artinya adanya dinasti yang berkuasa.
- Pola Khilafat, sama seperti tersebut di atas.
Keempat pola ini merupakan nubuwatan Nabi Muhammad SAW yang akan datang dan kini sekaligus sudah merupakan kenyataan bagi yang hidup di zaman sekarang ini. Bagi yang suka mempelajari sejarah Islam tentu akan lebih gampang menemukannya.
Pola khilafah ‘ala minhajin nubuwah adalah pola yang sama dengan pola nubuat,hanya saja khalifahnya tidak berpangkat Nabi tetapi tetap melaksanakan tugas-tugas kenabian. Pola ini lebih menitik beratkan kepada tugas-tugas kerohanian untuk mendidik manusia mengabdi kepada Allah SWT, dan berkhidmat kepada umat manusia daripada dengan mempergunakan kekuasaan. Ia lebih banyak memberikan peringatan dan khabar suka daripada memberi hukuman. Karena ia dari orang shaleh, ia selalu mempunyai kontak dengan Allah SWT, dan segala langkahnya selalu mendapat bimbingan dari Allah SWT. Ia di pilih dari orang-orang yang shaleh oleh orang-orang yang muttaqi. Ia lebih menonjolkan ukhrawi daripada duniawi. Kekuasaan politik yang ada pada tangannya hanyalah sebagai salah satu aspek dari pengabdiannya kepada Allah Ta’ala dan sekedar penunjang penegakkan hukum dari Illahi. Sebaliknya pola kerajaan lebih menitik beratkan kepada kekuasaan duniawi dan keberadaannya berdasarkan keturunan atau berkeyakinan keturunannyalah yang berhak menjadi pimpinan. Karena dasar pemikirannya adalah kekuasaan atau politik, maka kontak dengan Allah SWT., terputus.
Dengan hadirnya Masih Mau’ud dan Imam Mahdi a.s. Itu terpecahkanlah masalah kehadiran khilafat ‘ala minhajin nubuwat sebagaimana yang dinubuwatkan oleh Rasulullah SAW, dan lengkaplah sudah nubuwat itu program yang telah ditetapkan-Nya. Tapi apakah ada perbedaan yang mendasar antara khilafat ‘ala minhajin nubuwat di zaman khilafaturrasyidah ada dengan khilafat ‘ala minhajin nubuwat zaman sekarang ini . Perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah khilafat pertama para Khalifahnya langsung berhubungan dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam penampilannya juga mengambarkan sifat-sifat JALAL yang dimiliki Rasulullah SAW., sedangkan pada khilafat kedua ini akan menonjolkan sifat JAMAL dari Rasulullah SAW., yang di personifikasikan dalam wujud Masih Mau’ud a.s., dan penampilan dari Khilafat kedua ini adalah penampilan dari Nabi Buruzi.
Memperhatikan begitu besar dan beratnya tugas yang dihadapi, wajarlah kalau tugas itu diemban oleh seorang Nabi, meskipun Nabi Buruzi, nabi yang merupakan pantulan dari Nabi Besar Muhammad SAW., dan nabi inilah yang melahirkan khilafat ‘ala minhajin nubuwat. Dan itu dituangkan dalam karya beliau Al-Wasiat Khilafat yang akan berlanjut samapi hari kiamat. Khilafat Al-Masih. Untuk mengemban tugas besar itu dan hal itu tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu singkat , dalam satu genersi saja, maka Al-Masih yang dijanjikan itu diperintahkan untuk membentuk satu organisasi atau Jamaah yang akan melaksanakan tugas itu secara berlanjut dan sambung menyambung dari satu generasi kegenerasi selanjutnya. Nizam Khilafat Ahmadiyah ini sudah mencapai berumur satu abad. Sudah ada lima Khalifah yang mengemban tugas itu secara berkesinambungan. Tidak ada perbedaan missi dari tiap Khalifah itu, tetap melanjutkan tugas yang di emban Al-Masih yang di janjikan. Kalau ada perbedaan hanya terletak pada gaya yang disesuaikan dengan kondisi zamannya dan perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi. Meskipun terjadi perpindahan Pusat/Markaz beberapa kali namun missi tetap tidak berubah. Karena ini merupakan ketaatan kepada Rasulullah SAW., di dilakukan dengan pengambilan ikrar bai’at.
Dengan Ikatan yang solid dan ampuh di perlukan adanya bai’at, sebagaimana juga yang di lakukan di zaman Rasulullah SAW., Syaidina Umar bin Khatab r.a Khalifah ke II Rasulullah SAW., pernah mengatakan bahwa tidak ada yang namanya Islam itu tanpa Jamaah, tidak ada Jamaah tanpa pimpinan dan tidak ada pimpinan tanpa ketaatan. Adanya Jamaah yang di pimpin dan pimpinan yang akan memimpin adalah hubungan yang tidak dapat di pisahkan karena keberadaan yang satu bergantung kepada keberadaan yang lainnya, yang keberadaannya di ikat oleh tali ke taatan yang di kukuhkan melalui bai’at. Bai’at bertujuan mengumpulkan orang-orang jujur/benar yang secita-cita untuk berkhidmat mengembangkan Islam keseluruh dunia. Bai’at merupakan persyaratan untuk ikut serta dalam Jamaah.
Semoga kita di jadikan oleh Allah SWT. Sebagai orang I’thaat dan di masukkan dalam golongan orang-orang dalam Jamaah.
Dikutif dari ceramah Kol. (Purn) Lius Ma’ala
0 komentar:
Posting Komentar